Bercerita #4
Latihan bercerita
Ditengah kegabutanku menagisi hidup, aku membaca twit Uda Ivan Lanin yang tak pernah lelah bercerita. Ku baca salah satu utasnya terkait Latihan Bercerita. Baru membaca petunjukknya aku kemudian membuka laman ini. Ku tuliskan semuanya, tanpa mikir, dan tanpa ku baca lagi.
Ini cerita Uda yang ku maksud, jika kalian penasaran. Satu cerita dibawah ini improvisasiku saja, selebihnya aku ikut aturannya.
#BAJU (10 menit)
Setiap kali orang menyebutkan kata ini, hatiku selalu teriris. Bagi sebagian orang, memilikinya adalah hal yang mudah. Tinggal tunjuk maka barang bisa ditangan. Bagi tidak, aku harus memutar cara menyimpan pundi-pundi uang untuk dikumpulkan. Tak peduli sebenarnya baju itu buatku, tapi buat adikku ini adalah hal yang sensitif. Aku mau yang terbaik baginya, meski terbaik baginya berarti yang paling biasa bagi orang lain. Tak apa asal aku liat adiku tersenyum manis. Aku putar otakku, ku kumpulkan semua celenganku, ku makan lebih irit, jalan kaki pulang pergi tak mengapa. Tambahan uang siksaan ini hanyalah berapa tapi aku tak bisa mengabaikan adikku. Ia yang paling bisa ku andalkan saat ini. Orang mengira aku anak terakhir atau anak semata wayang karena penampilan dan namaku. Aneh bukan, kelahiran ditentukan dari nama yang penasaran.
Tak salah tak juga benar mereka. Aku Asmara Nadya Ratu, panggilanku Aya. Apakah namaku terdengar semata wayang bagimu? Jika begitu, memang aku anak satu-satunya secara biologis dari orang tuaku. Tapi kehidupanku tak berjalan mulus, kehidupan jalananku lebih lama dari kehidupan rumahan manjaku dulu. Aku lebih sering menganggap diriku anak jalanan dibanding anak mantan pengusaha sapu yang dulu paling dikenal seantero kotaku. Aku pindah dari kota itu karena tak mampu melihat pandangan orang bahwa aku melarat. Bapakku sudah meninggal dan ibuku masuk penjara karena pernah mencoba membunuh orang yang mau memperkosanya. Dan baru-baru ini dia meninggal. Aku anak sendiri, ditinggal sendirian, sudah terbiasa dengan kesendirian
#SAYUR (5 menit)
Peningnya kepala Toha bisa ku rasakan dari sini. Diisapnya rokok pemberian Burhan barusan dengan dalam, sangat dalam. Aku tak berani keluar mendekatinya, bisa mati dicekik ibukku kalo nekat. Masih dalam lamunannya, Toha melirik ke mobil pick upnya itu. Babi emang. Bosok. Jancuk. Itu hanya secuil umpatan yang ia lontarkan malam ini. Berkarung-karung lombok rawit itu hilap dicolong maling. Biadab memang yang mencolong itu, padahal ambil sekarung saja mereka bisa untung 1 gram emas tapi kenapa malah sepuluh. Apa yang harus dia sampaikan ke petani gunung sana. Semua gara-gara bocah gulali tadi. Asu batinnya.
#LANGIT (10 menit)
Kain merah jambon itu masih setia disana, menari seirama semilir angin pantai. Ia enggan lepas namun bobot kerikil di sisi kiri tak kuat menahat hasrat angin yang ingin mengajaknya berdansa. Benda-benda di atasnya mulai bergeser, tergusur oleh hentakan dansa mereka. Sebuah kaca lipa itupun tak ayak terhempas ke pasir pantai. Ternyata sang matahari ingin melihat rupanya. Diliriknya kaca itu hingga pantulan sinarnya mengenai mataku. Hanya setitik sinarnya merusak posisi tubuhnya yang sedang berjemur kala itu. Ku geserkan badanku ke kiri dan menatap langit siang itu.
Banyak orang bilang cara membedakan orang Asia dan Eropa saat di pantai itu mudah. Jika kau lihat manusia menggunakan baju panjang dan berteduh di sela pohon, itu pasti warga lokal. Tapi jika kau lihat manusia dengan baju segaris berbaring di bawah terik matahari seharian berarti mereka bukan orang sini. Mereka yang hanya melihat matahari karena sinarnya bukan panasnya. Lalu aku ini apa, seorang warga lokal dengan baju panjang bak ziarah terlentang di bawah sinarnya, tanpa pelembab tanpa alas tanah. Aku ingin terluka. Sebentar.